Dia. Sekali lagi, dia.
Kenapa senyumanmu masih bermain-main di hutan pikiranku?
Meski kupenggal kepala ini, kamu masih tamasya di tengkorakku.
Bagaimana bisa kamu terus?
Meski kupenggal kepala ini, kamu masih tamasya di tengkorakku.
Bagaimana bisa kamu terus?
Kenapa suaramu masih berlompatan di gendang telingaku?
Meski kucabut daun telingaku,
kamu masih menendang-nendang gendang telingaku.
Bagaimana bisa kamu terus?
Meski kucabut daun telingaku,
kamu masih menendang-nendang gendang telingaku.
Bagaimana bisa kamu terus?
Aku masih ingat sepatunya yang terlihat terlalu besar,
padahal kakinya memang besar. Dan aku tak pernah komentari itu.
padahal kakinya memang besar. Dan aku tak pernah komentari itu.
Aku masih ingat rambutnya yang tak pernah rapih.
Selalu acak-acakan. Tapi aku tak pernah komentari itu.
Aku masih ingat gombalan najisnya. Menjijikkan.
Mengada-ada. Membuatku tersenyum. Tapi aku tak pernah komentari itu.
Aku masih ingat senyuman nakalnya.
Lirikan jeleknya. Hangat tangannya. Dan aku tak pernah komentari itu.
Aku ingat menyukainya. Dan aku tak pernah katakan itu.
Aku tak menyesal. Karena dia brengsek. Tapi aku masih menyukainya.
Aku ingat hanya melihat sosok kurusnya.
Di antara sekian banyak sosok kurus lain.
Mata ini seperti buta. Tapi hati ini tidak.
Mata ini seperti buta. Tapi hati ini tidak.
Aku ingat betapa aku merasa tersanjung mendengar cerita-ceritanya.
Meskipun terdengar konyol. Tapi aku tak pernah komentari itu.
Ingin kubenci hatiku karena menyukainya.
Tapi, aku telah memaafkannya. Memaafkan hatiku.
Bukan memaafkan dia. Dia memang begitu. Aku yang bodoh.
Bukan memaafkan dia. Dia memang begitu. Aku yang bodoh.
Ketika aku melihatnya puas mendapatkan hatiku, aku menyukainya.
Meskipun aku sedikit membenci hatiku. Dia tersenyum lagi. Aku berkata, sial.
Tidak lagi aku menyalahkan dia karena pesona najisnya.
Atau hatiku karena menyukainya.
Dia mengajariku sesuatu yang lebih rendah dr cinta.
Bukan karena aku tak pernah mempunyai rasa suka. Bukan.
Tapi karena kali ini hatiku menyukainya. Belum pernah seperti ini.
Dan aku memaafkan hatiku, sekali lagi.
Menyukainya selalu kuanggap kesialan.
Tapi, aku tetap menyukainya.
Entah dia menaruh racun tikus atau
racun najis apa di dalam minumanku saat itu.
Entah dia menaruh racun tikus atau
racun najis apa di dalam minumanku saat itu.
Tadinya ingin kutebas sayapnya,
biar tak dapat terbang lagi mengitari hutan pikiranku.
Tapi ia begitu mencandu.
biar tak dapat terbang lagi mengitari hutan pikiranku.
Tapi ia begitu mencandu.
Bulu sayapnya sering tersangkut di pohon-pohon hutanku.
Aku tau dia, sampai kegoblokan otaknya.
Tapi aku tak dapat melepaskan sedetik pun mataku dari aksi sintingnya.
Aku, memaafkan hatiku.
Aku, memaafkan hatiku.
No comments:
Post a Comment